TRADISI DAN KEARIFAN
LOKAL
DI SULAWESI
Anggota
Kelompok:
Putri
Ayu A. L. 09416241002
Frinci
Andayani 09416241010
Hepi
Kartika 09416241013
Rr.
Ezry Muyasyaroh 0941624018
Arif Gunawan 09416241023
Jefri
Adi Asmoro 09416241025
Erick
Putra C. 09416241030
Anggi
Titis M. 09416241035
Muhammad
Abdul A. 09416241045
Dalilah
Nopani 09416241046
Fibriani
Setyaningrum 09416241049
PENDIDIKAN ILMU
PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL
DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
YOGYAKARTA
2010
Tradisi
1.
Sulawesi
Utara
a.
Tradisi
Binarundak Tandai Puncak Lebaran
Bagi warga Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, lebaran selalu
identik dengan tradisi Binarundak atau tradisi bakar nasi jaha secara massal.
Tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun ini, ternyata menjadi
motivasi tersendiri bagi para perantau yang mudik pada saat lebaran.
Nasi jaha adalah salah satu makanan khas Sulawesi Utara,
berbahan dasar beras ketan dan santan, yang dimasak dengan cara dipanggang,
setelah sebelumnya diisi kedalam batang bambu berlapis daun pisang. Dalam
tradisi yang digelar beberapa hari sebelum Idul Fitri ini, warga membakar nasi
jaha di sepanjang jalan depan rumah mereka atau di lapangan terbuka. Di puncak acara, nasi jaha yang sudah matang
kemudian dinikmati beramai-ramai bersama warga lainnya dengan diiringi tabuhan
musik rebana serta alunan syair-syair pujian serta doa syukur. Kegiatan
ini pun menjadi ajang silaturahmi, bermaaf-maafan dan ajang reuni bagi para
perantau dengan sahabat lama, setelah sekian lama berpisah.
b.
Tradisi
Memindahkan Rumah
(Merawale)
Tradisi memindahkan rumah, oleh
masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu
tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi
ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa.
Masyarakat di Kelurahan
Bitung – Amurang Minahasa Selatan rupanya masih ada yang mempertahankan
tradisi merawale ini. Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah
satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda
maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandang status sosial.
Merawale biasanya
dikomandoi oleh seseorang agar rumah yang akan dipindahkan dapat diangkat
secara lebih mudah. Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan
masyarakat tanpa rekayasa dalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja
yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya
mendapat ucapan terima kasih dari yang empunya rumah. Salah satu bentuk
ucapan terima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh
manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan
nasi jaha.
2.
Gorontalo
a.
Tradisi Mandalengo
Gorontalo
Ribuan warga Kota dan Kabupaten Gorontalo memadati jalan raya
dan obyek wisata, untuk memeriahkan tradisi jalan pagi yang biasa dilakoni saat
bulan Ramadan tiba. Tradisi jalan pagi atau mondalengo tersebut,
biasanya dilakukan saat minggu pertama bulan puasa setelah makan sahur, dengan
mengunjungi tempat tertentu.
Di obyek wisata Benteng Otanaha, Kota
Gorontalo, warga berbodong-bondong menaiki ribuan anak tangga padahal pada
hari-hari biasa, obyek wisata bersejarah tersebut jarang dikunjungi warga
karena tempatnya yang cukup berbahaya untuk dijangkau. Meski harus mengeluarkan
tenaga dan keringat, namun warga mengaku tak khawatir akan merasa haus sebelum
buka puasa.
b. Tumbilotohe, Tradisi Gorontalo Ratusan Tahun.
Tumbilotohe
merupakan tradisi masyarakat daerah Gorontalo pada 3 malam terakhir bulan puasa
ramadhan. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun sejak abad ke-15.
Tumbilotohe sesuai dengan namanya
"tumbilo (pasang)" dan "tohe (lampu)", yaitu acara
menyalakan lampu. Lampu yang digunakan sekarang adalah lampu minyak yang
umumnya terbuat dari botol atau kaleng bekas yang bagian tutupnya dipasangi sumbu.
Sumbu yang dipakai adalah sumbu kompor. Konon zaman dulu memakai damar, lalu
menjadi minyak kelapa, sekarang minyak tanah. Lampu-lampu ini dipasang berjejer di
depan rumah, di pagar, maupun di pinggir jalan. Jumlahnya pun beragam,
tergantung luas halaman rumah & pemilik rumah. Bila ada sponsor jangankan
halaman rumah, sawah pun dipasangi lampu.
c.
Mutimualo, Tradisi
Mandi Bersama Masyarakat Gorontalo
Mandi bersama Mutimualo. Jika salah satu anggota keluarga
masyarakat Gorontalo ada yang meninggal dunia dan menimbulkan kesedihan
mendalam, dalam situasi seperti itu, keluarga Gorontalo biasanya segera
menyelenggarakan tradisi Mutimualo. Prosesi itu dilakukan tepat tujuh hari
sejak meninggalnya anggota keluarga yang bersangkutan. Caranya, seluruh anggota
keluarga yang ditinggalkan mandi bersama. Tidak sembarang mandi, acara itu
harus dilakukan pemuka adat. Satu demi satu anggota keluarga mendapat siraman
air dari sang pemuka adat.
Ada kepercayaan, kesedihan akibat
kehilangan anggota keluarga bisa larut dalam air yang disiramkan saat mandi.
Selain itu, selesai mandi, badan terasa segar sehingga pikiran segar dan
kesedihan pun terhapuskan.
Ada beberapa aturan yang harus diterapkan
saat Mutimualo. Selain harus dilaksanakan saat tujuh hari meninggalknya sang
anggota keluarga, lebih afdol jika prosesinya dilakukan sore. Sebelumnya, pihak
keluarga harus menyediakan tiga butir kelapa yang belum dikupas. Ketiga butir
kelapa itu diikat untuk kemudian dijadikan tempat duduk bagi suami atau istri
yang ditinggalkan sang mendiang.
Anggota keluarga lainnya menyediakan daun
puring, sisiru, parang, serta sebutir kelapa yang telah dikupas. Setelah semua
perlengkapan tersedia, seluruh anggota keluarga berjalan bersama meninggalkan
rumah menuju sungai yang menjadi lokasi prosesi.Saat keluar rumah, mereka harus
lewat pintu depan dan saat kembali dari prosesi harus masuk lewat pintu
belakang. Yang unik, saat mereka masuk ke rumah, ada orang yang mengagetkan
mereka dengan memukul-mukul benda sebagai bunyi-bunyian. Di tengah prosesi
mandi bersama itu, baju anggota keluarga yang sudah meninggal dihanyutkan.
Baju-baju tersebut disertakan pada benda-benda lain yang sudah disiapkan untuk
dihanyutkan.
3.
Sulawesi
Tengah
Banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat
pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang
harmonis dalam masyarakat.
Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat
dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang
besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk
festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain
rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang
pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau
mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang
disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga
lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu,
mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang
melengkapi pakaian adat.
Kesenian
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi. Musik
tradisional memiliki instrume seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini
lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di
wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional -
ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam
bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di
suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan
ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero
yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti
masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika
musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu.
Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan
dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi berawal dari
kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.
4. Sulawesi Barat
Majene di Sulawesi Barat etnis
Mandar. Di era 1930-1980, Majene dikenal sebagai kampungnya pelaut ulung
berperahu sandeq. Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas,
sandeq terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan, tangguh mengarungi laut lepas Selat
Makassar antara Sulawesi dan Kalimantan.. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan
lebar 60-80 sentimeter. Di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai
penyeimbang.
Sandeq mengandalkan dorongan angin
yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong sandeq
hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti
katinting, kappal, dan bodi-bodi.
Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi
angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat sandeq tampaknya sangat cermat
merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan. Sebab, Teluk Mandar
memang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang, dengan angin
kencang dan gelombang besar.
Sandeq harus bisa melaju cepat
mengejar kawanan tuna yang sedang bermigrasi. Saat musim ikan terbang bertelur,
nelayan menggunakan sandeq untuk memasang perangkap telur dari rangkaian daun
kelapa dan rumput laut.
Dilombakan. Saat libur melaut karena kendala cuaca, nelayan Mandar biasa
mengisi waktu dengan menggelar lomba sandeq. Dulu, lomba hanya mengadu
kemampuan manuver. Setiap sandeq harus memutari area yang dibatasi tiga titik. Lomba ini membutuhkan kejelian
membaca angin dan menentukan teknik manuver. Lomba sandeq masih bisa disaksikan
hingga saat ini dalam Sandeq Race, seperti digelar pertengahan Agustus lalu
dengan mengambil rute Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar di Sulawesi Selatan
dengan jarak tempuh 300 mil laut. Sandeq Race merupakan usaha untuk
melestarikan dan meneruskan budaya bahari Mandar yang terancam punah. Sandeq
mengajarkan nelayan muda untuk membaca arus, membaca angin, serta ritual yang
ada di dalamnya.
5. Sulawesi Selatan
a. Tana Toraja, Sulawesi Selatan-Tanah Kerajaan Surga
Tana Toraja memiliki kekhasan dan
keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana
Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkonan untuk beberapa waktu. Jangka
waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup
uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa
ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan
pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau
dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai
ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling
lambat bulan September.
Dalam
kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran
bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Sesuai
mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang
telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut
puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan
tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang
meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke
sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup.
Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai
aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat
mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
"Agar
jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan,
upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut
sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang
salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang
’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’,
salah satu tokoh adat setempat.
Selama
orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam
wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban
persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman,
arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan
keturunannya.
Oleh
karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan
dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum
menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul
semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun
harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima
sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo
alias surga.
Semakin sempurna upacara pemakaman
seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka
sebut puyo tadi.
To
na indanriki’ lino
To
na pake sangattu’
Kunbai
lau’ ri puyo
Pa’
Tondokkan marendeng
Kita
ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah
negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang
sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.
Kepercayaan
pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan
terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan
pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam
pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat"
arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.
Berbagai
bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut
kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang
sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan
di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk
Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun
umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan
upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih
sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.
Sebagai
contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus
segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini supaya keluarga yang
ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan.
Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan
(rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal
yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut
belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan
begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang
hanya karena ada mayat di kampung tersebut.
b. Tradisi
Megalitik pada Makam Islam di Jeneponto Sulawesi Selatan
Pemujaan terhadap arwah nenek
moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat pendukungnya.
Pemujaan terhadap
arwah nenek moyang dari tradisi megalitik, dilatar belakangi oleh anggapan bahwa
nenek moyang yang meninggal
itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat
tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya. Prinsip inilah yang
tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang
masih berfungsi.
Di sulawesi selatan, peninggalan
megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung
dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih
sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang
kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu.
Pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya
dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi
kepada pemujaan arwah.
c. Proses Pembuatan Songkok To Bone
Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah
daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis: direcca-recca)
pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini
biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian
warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka
serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang
berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi
hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat
songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat
yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.
Untuk menganyam serat menjadi songkok
menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian
dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng
itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran
Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.
Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut
sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683.
Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk
membedakan dengan pasukan Tator.
Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki
(raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring
pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga
sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi
memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga
disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa
orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun
Indonesia pada umumnya.
Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di
Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat
komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil
prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau
Songkok To Bone.
6.
Sulawesi Tenggara
a. Sejarah Tradisi Tenun di Masyarakat Buton
Tenun sebagai tradisi di Buton,
diperkirakan sudah ada sejak Buton abad ke-14.
Itu
bisa dilihat dari artefak sejarah yakni kampua, jenis tenun yang menjadi mata
uang pada masa itu.
Inilah
hal yang mencengangkan sebab tenun bukan cuma untuk pakaian sehari-hari atau
penanda identitas. Kain juga menjadi alat tukar yang digunakan. Pada masa
lampau, peredaran luas kain-kain Buton dari sultan dan keluarga bangsawan dalam
kesultanan, yang disebut dengan istilah tanet,
yang digunakan sebagai surat berharga yang secara kebudayaan bisa
diterima sebagai alat tukar untuk aktivitas perdagangan bahkan sampai ke Papua
merupakan testimoni atas kebesaran Buton di masa lampau. Mata uang tersebut
juga disebut kampua. Mengacu pada catatan sejarah, pada abad ke-14, telah
terjadi menggunakan mata uang Kampua, dan beredar hingga tahun 1951.
Pada
masa itu, nilai tukar satu mata uang sama dengan satu butir telur. Kemudian
sesuai kondisi perekonomian nilainya pun berubah pula. Kemudian di tahun 1851,
datanglah Pemerintah Kolonial Belanda menjajah pulau Sulawesi dan memasuki
Buton. Gubernur Jenderal VOC Pieter Both menggusur kampua dengan mata uang Golden
milik Belanda. Namun hanya di daerah-daerah tertentu saja. Di daerah pelosok
Buton, kampua masih digunakan untuk bertransaksi. Hingga akhirnya pada tahun
1851 mata uang kampua ini diberhentikan peredarannya.
Seiring
dengan datangnya agama Islam melalui pesisir, maka tenun sutra mengalami
modifikasi menjadi tenun ikat seperti sarung, yang dikenakan untuk kegiatan
keagamaan. Melalui perdagangan itu, terjadi alih pengetahuan dan dialog
kebudayaan sehingga tenun –sebagai tradisi yang datang dari luar-- bisa
diterima menjadi bagian dari kebudayaan Buton. Sejak masuknya tenun, banyak
lahir benda-benda kebudayaan atau artefak yang menggunakan kain sebagai
bahannya, mulai dari pakaian, tenun kerajaan, hingga jenis-jenis ikat kepala
maupun sarung yang dikenakan hanya pada momentum tertentu. Tenun kemudian
identik dengan kain berkualitas tinggi yang banyak dikenakan keluarga raja dan
bangsawan. Meski demikian, kain juga dikenakan secara luas oleh rakyat jelata
dengan motif dan desain khusus, yang dikembangkan sejak masa silam.
b. LULO, Tari Tradisional SulawesiTenggara
Lulo merupakan tarian tradisional masyarakat Tolaki di kota
Kendari, Sulawesi Tenggara. Tolaki merupakan salah satu suku terbesar di
Sulawesi Tenggara selain Suku Buton dan Suku Muna. Biasanya, tarian ini
dimainkan sebagai pertunjukan hiburan ketika merayakan kebahagiaan, tarian
menyambut kedatangan tamu kehormatan serta promosi budaya Sulawesi Tenggara. Dulu,
fungsi tari Lulo tidaklah seperti sekarang. Nenek moyang suku Tolaki memainkan
tarian ini hanya ketika mereka menyelenggarakan upacara adat panen padi, pelantikan
raja, serta pesta pernikahan.
Ketika upacara panen padi, Lulo merupakan ritual untuk memuja
dewa padi yang diyakini sebagai pemberi kesuburan. Ketika dimainkan saat
pesta pernikahan dan pelantikan raja, Lulo menjadi tarian persahabatan antar warga
Tolaki dan media untuk mencari jodoh. Itulah mengapa, penari Lulo ketika
itu hanyalah warga yang belum mempunyai pasangan atau yang belum menikah. Tak
hanya itu, pihak lelaki diwajibkan untuk terlebih dahulu bertanya kepada calon
wanita yang akan dijadikan pasangan menari.
Jika
pada saat pertunjukan akan berlangsung, pihak wanita menolak untuk diajak
menari bersama, lelaki itu wajib membayar denda yakni menyembelih seekor
kambing dan 2 lembar kain sarung untuk nantinya dibagikan kepada warga
sekitar. Aturan ini tidak berlaku, jika pihak wanita mengajak lelaki
terlebih dahulu namun si lelaki menolaknya. Namun kini, tidak
demikian. Siapa saja dapat menjadi penari Lulo dan ikut serta menari bersama
ketika pertunjukan Lulo berlangsung.
Gerakan
yang penuh suka ria diiringi musik
dari gong, kulintang yang terbuat dari bambu, serta
kendang. Jumlah
penari Lulo bervariasi, pada
awal pertunjukan, penari Lulo hanya terdiri dari beberapa pasang lelaki dan
wanita dan akan bertambah di tengah pertunjukkan.
Sekilas,
gerakan tari Lulo terlihat relatif sederhana. Mulai dari awal hingga
pertunjukan usai, para penari Lulo membentuk lingkaran, menari sambil
bergandengan tangan dengan posisi telapak tangan wanita berada di atas telapak
tangan penari lelaki. Bagi warga Tolaki, posisi tangan wanita yang berada
diatas tangan lelaki memiliki makna setiap lelaki berkewajiban untuk melindungi
wanita. Perpaduan gerak ketika penari Lulo berputar dalam sebuah lingkaran
dengan posisi tangan tetap saling bergandengan menjadi daya tarik tersendiri
dari pertunjukan Lulo.
Kearifan Lokal
1. Kearifan lokal Suku Bajo, “Manusia Perahu”.
Di tengah kesibukan para ilmuwan
mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada
kearifan suku Bajo. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan
dengan kehidupan di atas permukaan air. Hal inilah yang ingin dipelajari dan
diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam.
Suku Bajo merupakan sekumpulan orang
yang menggantungkan hidupnya di laut. Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di
atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Jumlah suku Bajo yang menggantungkan
hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di
pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Rumah panggung suku Bajo dibangun
menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi
kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula,
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, suku Bajo sudah dapat beradaptasi dengan
kehidupan modern. Di desa tersebut ada semacam balai-balai tempat berkumpul
masyarakat untuk menonton televisi. Mereka menggunakan antena parabola untuk
mendapatkan siaran dari berbagai stasiun televisi. Meski demikian, cara mereka
menonton televisi tergolong hemat energi. Sebab, selalu dilakukan
beramai-ramai. Mereka juga hanya menggunakan listrik pada malam hari saja.
Kehidupan suku Bajo modern juga
dapat ditengok di perkampungan Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten
Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di sana terdapat sekolah, madrasah, tempat
peribadatan, pelelangan, dan penyimpanan ikan. Hidup orang bajo di Sama Bahari
masih mengandalkan hasil laut. Mereka juga mendirikan tambak terapung dan
bertani rumput laut.
Melestarikan Laut. Masyarakat bajo berprinsip bahwa
laut adalah segalanya. Laut merupakan cermin dari kehidupan masa lalu,
kekinian, dan harapan masa depan. Laut juga dianggap sebagai kawan, jalan, dan
persemayaman leluhur. Karena dekat dengan kehidupan laut, bayi dari keturunan suku Bajo
yang baru lahir sudah dikenalkan dengan laut.
Suku Bajo juga memiliki filosofi
tentang kesakralan laut berbunyi, “Papu manak ita lino bake isi-isina,
kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana”. Artinya, Tuhan telah memberikan
dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh
dan mempergunakannya.
Oleh karena itu, orang Baju
melestarikan sumber daya laut dengan cara menanam bakau di kawasan pesisir
pantai, seperti yang terjadi di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Sepanjang
pantai ditanami bakau hingga 800 meter yang menjurus ke laut. Upaya penanaman hutan
bakau ini boleh dibilang siasat mitigasi. Selain itu, etnis bajo juga memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga
ekosistem bawah laut, seperti di Kabupaten Wakatobi. Termasuk dalam menangkap
ikan.
b. Suku Bugis
Suku
Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kini suku Bugis menyebar pula di
propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku
yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Kata "Bugis" berasal dari kata
To Ugi, yang berarti orang
Bugis.
Dalam
perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan.
Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan
pemerintahan mereka sendiri. Masyarakat Bugis tersebar di dataran
rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup
sebagai petani,
nelayan, pedagang, pendidikan, dan birokrasi pemerintahan.
Pada abad ke-16 muncul perkembangan baru dalam sejarah
perjalanan Bugis setelah agama Islam menjadi agama resmi kerajaan. Islam masuk
di wilayah ini tidak melewati perang tetapi lewat jendela kebudayaan, itulah
sebabnya persebaran Islam di Sulawesi Selatan sedemikian cepat dan pesat.
Banyak ajaran Bugis yang sejalan dengan Islam: yang fitrah dan universal.
Meskipun begitu, sisa-sisa agama lama tidaklah dapat dikikis begitu saja oleh
Islam.
Meskipun orang-orang Bugis telah menjadi
Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber
dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan
kitab suci La Galigo. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit
dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian
memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan
Bugis dengan wajah Islam.
Tak heran kelau kemudian kita lantas
menemukan doa para Bissu yang menyebut Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata
yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam
La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita
menemukan konsep siriq yang kemudian
diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya
Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah
hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng
ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler
kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara
(sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan
berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq
(syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana
adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).
La Galigo sebagai kitab suci dan sumber
religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi
yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara
suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq
La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano
bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq
tasiq upacara persembahan dewa laut, ménréq baruga
upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan
berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan
menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi
berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya
disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang
mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu)
maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq
(membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup
suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.
Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan
oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta
banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang
layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq,
pembaca dan penembang La Galigo.
Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan
para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal
La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja
demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada
zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi
Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak
bergeming sedikitpun.
Apa yang telah dipaparkan di atas
memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi
Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan
struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang
berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku
kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas
balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang
rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini
memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga
sastra dunia.
d.
Reinvensi
Demokrasi dengan Penguatan Kearifan Lokal.
Sulawesi Selatan sangat kaya akan khazanah budaya, kecerdasan
tradisional atau kearifan lokal yang banyak mengajarkan prinsip – prinsip
demokrasi dalam politik dan kehidupan sosial kemasyarakatan.
Adalah Lamellong Kajao Laliddong, cendekiawan
dan penasehat Arumpone La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan La Tenrirawe
Bongkangnge’ (1568-1584) menegaskan, “Duwa tanranna namaraja tanae, Ianaritu
seuwani namalempu’ namacca arung mangkauE, madduwanna tessisala-salae”.
(Dua tandanya negara dapat menjadi jaya. Pertama, Raja yang memerintah
memiliki kejujuran serta kecerdasan. Kedua, di dalam negeri tidak terjadi
perselisihan). Prinsip dasar yang diajarkan Lamellong Kajao Laliddong
ini, kejujuran dan kecerdasan serta terciptanya kondisi keamanan ketertiban
dalam negeri merupakan hal mendasar yang menjadi tujuan demokrasi, yaitu apa
yang disebut sekarang ’good governance’.
Prinsip dasar ajaran Lamellong Kajao
Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan inilah yang
disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan
keadilan, yang wujudnya berupa Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih
besar daripada perhatian terhadap dirinya sendiri, Raja harus memiliki
kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak serta keharusan raja
(pemimpin) berlaku jujur dalam segala tindakan. Hal ini merupakan syarat yang
dapat menghindarkan pemimpin, pengambil kebijakan dan pelaku birokrasi
pemerintahan terhindar atau jauh dari tindakan korup dan kesewenang – wenangan.
e.
Kearifan
Lokal Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu, Sulawesi
Tengah, dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ala Kearifan Lokal Masyarakat Toro
Toro
berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat Desa
Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman
Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah memiliki kearifan
tradisional warisan nenek moyang mereka dalam mengelola lanskap hutan dan
memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Kearifan
masyarakat lokal ini telah ada sebelum ditetapkannya kawasan ini menjadi taman
nasional.
Masyarakat
Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan
mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya
ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata.
Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri
(Andrian, 2006).
Totua
Ngata adalah dewan para totua kampung yang menjalankan kepemimpinan kolektif
atas seganap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang
dipilh oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat
bersangkutan. Sedangkan Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk
atas dasar pengakuan masyarakat. Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan
yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas
pengeloaan warisan orang tua .
Sebelum
adanya TNLL, masyarakat Toro sudah membagi alam menjadi zona-zona tertentu, di
antaranya adalah:
1) Wana
Ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak
boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian
1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu.
Zona ini dianggap sebagai sumber udara segar sehingga keberadaannya dianggap
sangat penting. Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan,
dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air.di zona ini
setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan untuk
kegiatan mengambil getah dammar, wewangian, obat-obatan, dan rotan. Seluruh
sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya
berlaku pada pohon damar yang diberikan kepada orang yang pertama kali
mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang
terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.
2) Pangale,
merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami
suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh
masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan
kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk
membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.
Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa
terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.
3) Pahawa
Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun ke
atas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan
lahan pertanian oleh masyarakat.
4) Oma,
merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan
untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem
peladangan bergilir. Di zona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.
5) Pongata,
merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih
rendah.
6) Polidae,
merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian
kering.
Berdasarkan
zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir.
Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya
pertama kali memiliki hak kepemilikan lahan. Lahan terbuka yang produktif
disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun
seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis
ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu
atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami
lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut
Oma.
Selain
itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan
Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong)
(Rhyticeros Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa
merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya
boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya
yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo
dilindungi karena telurnya yang unik.
Kearifan
lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari
kegiatan seperti dibawah ini:
Pembukaan
Lahan. Dalam
aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma
Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25
tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan
apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan
permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat)
disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan.
Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele
manu bula”.
Pengambilan
Kayu. Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila
tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam
perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan
baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan izin
penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”.
Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60
cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang
bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan
longsor dan erosi.
Pemanenan
Rotan (Calamus sp).
Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari
tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat
dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan
untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di
sawah ataupun ladang mulai berbulir.
Masyarakat
Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hewan
yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang
diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini
hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada.
Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang
paling terlindungi. Perekonomian masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus
merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam
dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.
Kearifan
Lokal Masyarakat Dataran Lindu.
Enclave Lindu merupakan kawasan pemukiman yang
terletak di dalam kawasan TNLL. Enclave Lindu yang terdiri dari empat desa,
yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca, sering disebut sebagai dataran Lindu
masih termasuk ke dalam Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Masyarakat
dataran Lindu menyakini sebagai satu rumpun adat (etnik Lindu) yang mempunyai
aturan terhadap lingkungan dataran kehidupannya. Seperti halnya dengan masyarakat
Ngata Toro, masyarakat dataran Lindu telah membagi kawasan hutan di sekitar
mereka ke dalam suaka-suaka/kawasan-kawasan, di antaranya adalah:
1) Suaka
Maradika, merupakan zona inti hutan yang tidak diperbolehkan adanya
eksploitasi.
2) Suaka
Todea, merupakan zona hutan pemanfaatan, boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan
berdasarkan peraturan adat.
3) Suaka
Tontonga, merupakan zona rimba yang pemanfaatannya sangat terbatas.
4) Suaka
Lambara, merupakan daerah penggembalaan.
5) Suaka
Parabata, merupakan zona khusus untuk pemanfaatan danau Lindu yaitu
pengkaplingan pada lokasi ikan di tepi danau Lindu.
Selain
dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat adat Dataran Lindu pun memiliki
kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Masyarakat adat Dataran
Lindu memberlakukan pelarangan (ombo) apabila ada salah satu tokoh masyarakat
yang meningal dunia. Kearifan lokal ini harus tetap dilestarikan untuk
mendukung upaya pengelolaan TNLL dalam menjaga dan melindungi kawasan agar
tetap lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu penguatan
kelembagaan adat sangat penting untuk menjaga kearifan lokal masyarakat tetap
eksis, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap perubahan hutan.
Kearifan
Lokal Masyarakat Mataue. Desa
Mataue berbatasan langsung dengan kawasan TNLL, terletak di wilayah Kecamatan
Kulawi, Kabupaten Donggala. Mayoritas masyarakat desa Mataue berasal dari suku
Kaili, yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki potensi air
yang sangat besar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi
rumah tangga, maupun irigasi. Sumber daya air yang ada di Mataue dimanfaatkan
oleh masyarakat di empat desa, yaitu Desa Mataue, Desa Bolapapu, Desa
Boladangko, dan Desa Sungku.
Masyarakat
Desa Mataue memiliki kearifan lokal yang unik dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya air. Dalam hal pengelolaan sumber daya air masyarakat desa pengguna
mempercayakannya kepada tokoh adat Desa Mataue yang merupakan desa terdekat
dengan sumber mata air. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah kegiatan
monitoring ke areal hulu yang hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Mataue.
Selain itu dalam pengelolaan lahan pertanian yang berada di sepanjang aliran
air tidak diperkenankan mengunakan pupuk kimia dan pestisida.
Bentuk
partisipasi masyarakat desa sekitar Mataue yang memanfaatkan sumber daya air
adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pemerintahan Desa Mataue sebagai
petugas pengelola. Untuk pemungutan jasa retribusi air sendiri pemerintahan
Desa Mataue menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan desa masing-masing.
Berdasarkan kesepakatan masing-masing desa, masyarakat yang konsumsi air untuk
kebutuhan rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp 2000,-/bulan, sedangkan untuk
irigasi sawah dikenakan biaya sebesar 1-1,5 blek gabah ketika masa panen.
Kearifan
lokal lain yang terlihat adalah dalam hal pemanfaatan kulit kayu pohon beringin
sebagai bahan baju adat (kain fuya). Untuk mendapatkan kulit kayu masyarakat
tidak diperbolehkan menebang pohon beringin. Perubahan Lingkungan dan Respon
Masyarakat Adat, Contoh Kasus Masyarakat Adat Toro Perubahan lingkungan yang
disebabkan oleh faktor eksternal dan internal menimbulkan respon dari
masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. Pada contoh
kasus masyarakat Toro, faktor-faktor tersebut adalah intervensi ekonomi pasar
dan dinamika politik menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan.
f.
Peningkatan
Kesejahteraan Berpijak pada Kearifan Lokal
Cukup
banyak bukti bahwa kearifan lokal akan meningkatkan kesejahteraan. Tradisi
perahu sandeq suku Mandar di Sulawesi Barat. Mandar adalah salah satu suku
bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut. Selain Mandar, suku lain
yang berorientasi ke laut adalah Makassar, Bugis, Bajau, dan Buton. Tiga suku
yang disebut pertama tinggal di Sulawesi Selatan. Banyak orang yang tinggal di
luar Sulawesi bagian selatan menganggap pelaut ulung dari kawasan itu adalah
orang Bugis.
Namun, menurut Christian Pelras, penulis buku
The Bugis (1996), pelaut ulung di kawasan itu adalah orang Mandar. "Orang Bugis
sebenarnya adalah pedagang. Laut dan kapal hanyalah media atau sarana yang
digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut
pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar," tulis Pelris.
Keulungan orang Mandar, tidak bertumpu pada
armada perang yang hebat atau benteng tebal dan besar, tetapi pada tiga bentuk
teknologi perikanan yang mereka kembangkan, yakni rumpon, menangkap ikan sambil
menghanyut, dan perahu sandeq. Teknologi perikanan yang telah dikembangkan secara
turun-temurun ini telah mampu menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat
nelayan di Mandar. Pelajaran itu menunjukkan bahwa kreativitas lokal yang
berpijak pada kearifan lokal telah membuat masyarakat sejahtera.
Tinggal political will dari pemerintah untuk
menstimulus kegiatan itu. Tentu saja dengan menjaga kearifan lokal sebagai
khasanah budaya bangsa. Bila pembangunan ekonomi masyarakat tanpa berpijak pada
kearifan lokal, ekonomi nasional hanyalah ekonomi superfisial, tanpa makna
kesejahteraan.
g.
Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan
pada Pemukiman Mengapung di Danau Tempe Sulawesi Selatan.
Masyarakat nelayan yang bermukim pada
rumah mengapung di Danau Tempe memiliki
kearifan lokal berupa hukum adat yang bersumber pada keyakinan dan berkembang
melalui proses adaptasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal
ini diyakini dapat menciptakan keselarasan, keserasian, keseimbangan dan kelestarian
antara manusia, lingkungan permukiman dan lingkungan alam di Danau Tempe. Adanya kekuatan hukum adat sangat dominan mempengaruhi perilaku dan kehidupan masyarakat nelayan dalam bermukim di floating house, beraktifitas sosial, budaya dan beraktifitas ekonomi diatas air. Pembagian area private, semi private dan area publik di lingkungan Danau Tempe adalah kearifan tradisi yang telah dilakukan oleh beberapa generasi. Jika
tradisi dan hukum adat ini dilanggar, maka akan merusak keseimbangan sistem
kehidupan di lingkungan danau, sehingga Macoa Tappareng sebagai ketua adat akan
memberikan sangsi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran tersebut.
h. Khazanah Kearifan lokal dalam Bentuk Petuah “Pepatah Bugis”.
kearifan lokal berupa hukum adat yang bersumber pada keyakinan dan berkembang
melalui proses adaptasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal
ini diyakini dapat menciptakan keselarasan, keserasian, keseimbangan dan kelestarian
antara manusia, lingkungan permukiman dan lingkungan alam di Danau Tempe. Adanya kekuatan hukum adat sangat dominan mempengaruhi perilaku dan kehidupan masyarakat nelayan dalam bermukim di floating house, beraktifitas sosial, budaya dan beraktifitas ekonomi diatas air. Pembagian area private, semi private dan area publik di lingkungan Danau Tempe adalah kearifan tradisi yang telah dilakukan oleh beberapa generasi. Jika
tradisi dan hukum adat ini dilanggar, maka akan merusak keseimbangan sistem
kehidupan di lingkungan danau, sehingga Macoa Tappareng sebagai ketua adat akan
memberikan sangsi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran tersebut.
h. Khazanah Kearifan lokal dalam Bentuk Petuah “Pepatah Bugis”.
Berbicara tentang Sulawesi Selatan tentunya tidak lepas dari
pembicaraan terhadap entitas etnis masyarakat Bugis-Makassar. Ada banyak khazanah
pepatah-pepatah lama yang secara turun temurun di lafadzkan dan di bacakan
kepada kita dari generasi ke generasi. Berikut beberapa pepatah bugis :
”Resopa Temmanginngi Malomo Nalettei Pammase Dewata"
Hanya dengan bekerja keras kita akan mendapat rahmat Allah SWT.
“Ininnawa mitu denre sisappa, sipudoko, sirampe teppaja”
Hanya budi baik yang akan saling mencari, saling menjaga, dalam kenangan tanpa
akhir.
“Taro ado taro gau” Selarasnya antara perkataan dan
perbuatan.
“Pa’dioloi niya’ madécéng, ritemmadduppana iyamanenna gau’é”
Dahului dengan niat yang baik sebelum terlaksananya segala perbuatan.
“Pada laleng teppada upe’ ” sama jalannya, tak sama
peruntungannya.
“Nigi-nigi majenggo dena masempajang, iya na diaseng bembe`
“ Siapa-siapa yang berjenggot namun tidak sembahyang, dialah kambing.
“Toddopuli temalara” Sekali layar terkembang, pantang surut
ke tepian.
“Nakko de' siri'mu engka mussa pessemu” Jika tak punya malu,
paling tidak punya rasa solidaritas sosial.
“Akka’i padammu rupa tau natanréréko” Angkatlah sesamamu
manusia supaya engkau juga akan di junjung.
"Pada Idie Pada Elo, Sipatuo Sipatokkong" Kita
Bersama Inginkan Kebaikan, Saling Meng'hidup'kan & Membantu.
i.
Kearifan Lokal Suku Bangsa Wuna di Kabupaten Muna
Falia (Larangan). Falia telah lama dianut oleh masyarakat una
diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman
dalam melestarikan lingkungan hidup. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu
tradisi yang masih tampak pada orangWuna di manapun
dia berada sebagai implementasi dari
falsafah hidup “Dopo pia – piara”. Dopo pia piara dapat diartikan dengan saling
memelihara dan menjaga. Dalam falsafah tersebut manusia wajib hukumnya untuk saling memelihara satu sama
lain, termasuk memelihara lingkungan hidup yang ada di sekelilingnya. Untuk hal
itulah di dalamnya lahir istilah falia agar tidak mengambil, memanfaatkan dan mengelola
lingkungan hidup yang bertentangan dengan falsafah hidup tersebut.
Selain itu juga maknanya sangat luas, termasuk saling menjaga
perasaan sesama yang dalam istilah lokal dikatakan bahwa “memelihara sesama
artinya memelihara diri sendiri, merusak sesama sama artinya merusak diri sendiri”. Orang
Wuna percaya bahwa alam akan bersahabat jika manusia mau memeliharanya, dan
sebaliknya Ada beberapa hal yang perlu diketahui yang berkaitan dengan Falia.
j.
Ritual
Penyembuhan Etnis Kaili di Sulawesi Tengah
Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa
Kaili “Nabali ia” artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksud dalam
pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh
halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara
berpakaian orang tersebut akan berubah. Pengertian lain tentang kata “Balia”
adalah “bali ia” atau “robah dia”. Kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita
seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan
merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”.
Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan
etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili (To Kaili) memeluk agama
Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan
animisme. Selain kekuatan “Tuhan”, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal
gaib, kekuatan roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila
murka akan perilaku manusia.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan
gaib itu dipercaya ada di mana-mana. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua”
dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala
isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga
diyakini berpenghuni.
Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia
membuat penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab
bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian
tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui
upacara ritual “Balia” dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya
memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia.
Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya
dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas,
terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong
royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat
sekitarnya. Bangunan ini disebut “Bantaya” atau balai pertemuan, tempat
berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu
pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Ditentukan oleh tokoh adat setempat,
disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara
Balia instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili)
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen
music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari
(bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus.
Upacara Balia digelar selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual
ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan
strata sosial. Selain itu, Balia juga menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil-kecilan
karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar
dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain-lain.
Balia adalah salah satu sistem kepercayaan
etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika,
tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu
pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang
dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi
sebagai salah satu local genius (kearifan lokal), wujud dari sebuah kebudayaan
yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon (ikon
budaya).
k.
Arti Kerbau pada Masyarakat Sulawesi
Kerbau (Bos
bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah satu etnis
yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya Toraja Sa’dan,
kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka.
Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Kerbau juga menjadi
alat takaran status sosial, dan alat transaksi. Kerbau juga menjadi hewan utama
dalam pesta dan upacarabudaya –rambu tuka’ dan rambu solo’. Sedemikian
pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan istimewa. Kerbau
biasanya diistirahatkan dalam kandang di bawah kolong rumah. Karenanya rumah
tradisional Toraja yang berbentuk rumah panggung yang dikitari tiang-tiang
sehingga membentuk kurungan. Di luar rumah ada juga tempat khusus untuk tempat
beristirahat kerbau. Biasanya ditempatkan di dekat padang pengembalaan, bala.
Sebuah bala biasanya dikelilingi benteng yang ditanami bambu atau jenis
tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pagar.
Masyarakat
Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit
dan bulu, dan postur, serta tanda-tanda di badan. Di rumah-rumah tongkonan tanduk kerbau
disusun di depan rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan.